Sabtu, 14 Januari 2012

Si Mata Elang.........

Islamedia -  dinding yang menunjukkan pukul 01.00 dini hari, sudah larut tapi aku masih saja enggan untuk memejamkan mata. Aku memilih untuk merebahkan tubuhku, merenggangkan punggungku yang sudah terasa keram. Sekelebat wajah itu muncul, tidak asing, meski tidak pula terlalu familiar untukku. Beberapa kali pemilik sorot mata elang itu hadir menyambangi bunga tidurku. Aku menggeliat, tubuhku sudah tidak bisa diajak kompromi.

Diam. Hanya terasa hembusan angin yang memainkan anak rambutmu, dan juga ujung jilbabku mungkin. Kau bersandar pada sebuah batang pohon besar, menatap hamparan perkebunan teh yang menghijau. Keningku berkerut, untuk apa kau dan aku ada disini? Disaat pertanyaan itu menyembul-nyembul di benakku, kau menoleh. Kau berhasil merontokkan semua tanyaku, hingga kesadaranku pulih.

“Dianiiiiiiiiiiiiiiii! Bangun…. Jam berapa ini?!”
Aku mengucek-ngucek mataku, memperjelas sesosok wajah yang berteriak-teriak menciptakan efek tsunami di kamarku. Mei sudah berkacak pinggang, bersiap melempar wajahku dengan bantal besar. “Emang jam berapa, Mei?” tanyaku masih belum beranjak dari dari pelukan bantal dan guling di tempat tidurku.

“SEMBILAN!” Mei menunjuk-nunjuk jam tangannya, “Kamu mau tidur sampe jam berapaaaaa?”
“Aku gak ada agenda apa-apa hari ini.” Jawabku sambil merubah posisi dari berbaring menjadi duduk.

Mei menggeleng-gelengkan kepalanya, persis ibuku kala sedang marah-marah di rumah. “Tapi gak ngabisin waktu di tempat tidur kali, Mei? Setidaknya beres-beres kamar kek, nyuci cucian baju kamu yang numpuk itu, atau baca buku supaya lebih produktif!” tuh kan! Omelannya khas ibu-ibu banget.
Aku bergegas menuju meja kerjaku di pojok kamar, mengabaikan Mei yang tengah melotot menyaksikan aksiku. Kunyalakan netbook biru dongker kesayanganku tanpa meminta persetujuan Mei. Ia adalah sahabatku yang tinggal di sebelah kamarku, kami sudah setahun kost di tempat yang sama. Kebiasaan burukku yang jarang mengunci kamar menjadikan ia dengan mudah mengakses kamarku-sebenarnya ini kesengajaan dariku karena penyakit susah bangun tidur yang sudah kuidap sangatlah akut.

“Mei, kalau kita mimpiin seseorang tiga kali berturut-turut itu tandanya apa ya?” tanyaku sambil browsing sesuatu lewat mbah google.

“Kangen kali!” jawab Mei sebal, sambil mencomot persediaan cemilanku.
“Kalo kita gak kenal orang itu, masa kangen sih?”

Mei mulai menangkap gelagat anehku, “Hayooooooo mimpiin siapaaaaa?”
Aku memasang tampang innocent, “Bukan siapa-siapa.” padahal sorot mata itu masih membayangiku.

“Pasti mimpiin cowok yah? Semalem abis sholat istikharah bukan? Kalo iya, berarti itu jawabannya!” cecar Mei masih dengan sisa roti di mulutnya. “Heh, mimpiin siapa?” tanya Mei semakin penasaran.

Aku berusaha sekeras mungkin tidak merubah air wajahku, “Ye..orang lagi gak sholat, masa sholat istikharah? Bukan siapa-siapa, cuma iseng nanya aja.”
“Ah gak seru nih, ya udah aku mau keluar dulu bentar. Mau nitip gak?”
“Mauuuu…. nitip makan ya, nasi pake ikan pake sayur tumis pake tempe pake sambel, pakeeee…. jusnya sekalian!”

Mei memonyongkan bibirnya, aku tersenyum semanis mungkin. Fiuhh… alhamdulillah berhasil menghindar.

Aku mengetik sederet nama di kotak pencarian facebook, mencari account seseorang yang belakangan ini mengganggu tidurku; Alfian Saputra. Ya, aku memang tahu namanya, jurusannya, fakultasnya, pernah dalam satu moment juga kami bertemu. Tapi, sungguh hanya sebatas itu. Aku hanya mengenalnya sebatas nama dan wajah pemilik nama itu terus saja merangsek masuk di mimpi-mimpiku. Aku menopang dagu, membaca semua info tentangnya; sekolahnya dulu, kegiatannya, film kesukaan, musik kesukaan, asal daerah, foto-fotonya… ups! Kenapa sejauh itu? Ku dengar langkah kaki mendekat. Aku segera menutupnya, mengganti tampilan layar netbookku dengan jendela lain. Mia membuka pintu kamarku tepat ketika aku kembali seolah sibuk dengan mbah google.

“Nyari apa sih, Di? Dari tadi sibuk banget kayaknya?” Mia mengambil piring dan sendok di rak kecil berisi aneka peralatan makanku. Aku menggeleng dan segera menghampirinya, “Yuk makan… uda laper banget…”
“Mandi dulu sana!”
Aku merebut sekantung bungkusan nasi dari tangannya, “Nanti aja abis makan.”
“Jorok!”
Aku nyengir kuda setelah berhasil memasukkan satu sendok nasi ke mulutku.
***
Diam. Hanya terasa hembusan angin yang memainkan anak rambutmu, dan juga ujung jilbabku mungkin. Kau bersandar pada sebuah batang pohon besar, menatap hamparan perkebunan teh yang menghijau. Keningku berkerut, untuk apa kau dan aku ada disini? Disaat pertanyaan itu menyembul-nyembul di benakku, kau menoleh. Kau berhasil merontokkan semua tanyaku, hingga kesadaranku pulih.

Lagi. Aku langsung bangun dan duduk di sisi tempat tidurku yang tidak luas. Tepat ketika adzan Shubuh berkumandang, aku segera mengambil air wudhu. Mengerjakkan sholat qobliyah dan bergegas ruang tivi yang disulap menjadi mushola ketika waktu sholat tiba. Mei sudah menggelar sajadahnya, membaca ayat suci Al Qur’an sambil menunggu beberapa teman yang masih mengerjakan qobliyah subuh.

“Udah sholat?” tanya Mei ketika menyadari kehadiranku. Aku mengangguk. “Maaf gak bangunin, kirain masih gak sholat.” Ujarnya lagi sambil berdiri menyambut seruan iqomah untuk segera melaksanakan sholat. Aku mengangguk lagi, “Gak papa.” Jawabku datar. Lalu bersiap mempersiakan hati untuk bertemu Rabbku.

Seusai melaksanakan dua raka’at Shubuh, aku menunduk; mengadukan semua gundah yang kualami. Tentang skripsiku yang belum selesai-selesai, tentang ibuku yang bawel menanyakan kelulusanku juga pendamping hidupku, satu lagi tentang dia yang semalam datang lagi dengan mimpi yang sama.
***
“Mei, orang itu kayak pernah lihat deh..” ujarku sambil memasukkan minyak goreng ke dalam kresek hitam; bahan untuk baksos yang akan dilaksanakan sore hari nanti. Mataku terus mengawasinya; seseorang yang tak pernah absen dari mimpiku akhir-akhir ini.

“Mana? Oh.. itu.. Alfian anak tehnik, masa kamu gak kenal sih, Di? Perasaan kita pernah ketemu deh, pernah satu acara baksos begini juga bareng dia kan?”

“Oia? Aku lupa.” Aku berbohong, lalu kembali sibuk dengan kresek-kresek hitam berisi sembako.
“Di, itu Mbak Ais sama suaminya kan?” Mei menyikut lenganku, memintaku mengalihkan pandangan dari tumpukan sembako ke dua sejoli yang tengah turun dari motor. “Kayaknya sih iya.” Jawabku cuek.

“Kamu tahu gak, Di? Perjalanan mereka sampe nikah sekarang ini, lucu deh. Jodoh itu emang gak kemana ya?” ujar Mei sambil cekikikan, aku menyeringai, tidak berminat menaggapinya.

“Mereka itu awalnya gak kenal, padahal pernah satu kepanitiaan. Pada gak saling tahu, tapi waktu dijodohin sama orang kepercayaan masing-masing mereka kaget. Soalnya mereka ternyata gak asing sama wajah satu sama lain.”

“Yaiyalah, pasti sering ketemu di kampus.” Celetukku teringat kalau toh mereka juga satu kampus.
“Bukan,, selain itu ternyata mereka pernah saling mimpi.”
Aku terperanjat, “Mimpi?”
“Iya, Mbak Ais pernah mimpiin Bang Faris, begitupun sebaliknya.”
Tiba-tiba dadaku bergemuruh, ditambah sosok itu menghampiri kami secara tiba-tiba. “Mbak, sini saya bantu angkutin sembakonya.” Alfian Saputra, ditemani dua orang temannya tengah bersiap memindahkan sembako yang telah kami kemasi ke tempat antrian yang telah disediakan. Aku mengangguk dengan tatapan cemas; berharap Alfian tidak mengingat wajahku dalam mimpinya.
“Dianiiii! Ayo jangan bengong!” Mei mengembalikan kesadaranku, sekaligus mengingatkanku; Alfian mana tahu kalau kami pernah bertemu di mimpi? Toh yang bermimpi kan aku sendiri. Aku menepuk jidatku sendiri. Sakit!
***
Tuk. Tuk. Tuk. Aku memukul-mukul bolpoint ke tepian meja. Kadang tersenyum sendiri. Bukankah di dunia ini tidak ada yang kebetulan? Semuanya telah diatur olehNya, bahkan sehelai daun yang jatuh dari rantingnya, bahkan sehelai rambut yang luruh dari akarnya. Sejak wajah itu hadir dalam mimpiku, setiap gerik pemilik mata elang itu selalu dalam pengawasanku, kucari tahu segala tentangnya, ah inikah rasanya jatuh cinta?

Seperti pagi tadi, ketika aku memutuskan untuk membeli beberapa eksemplar buku untuk menambah koleksi bacaanku. Aku menemukan mata elang itu disana! Terduduk di sebuah kursi yang disediakan, khusyuk membaca sebuah buku tebal yang tak terdeteksi judulnya oleh jangkauan mataku yang berdiri jauh darinya. Lagi. Dia mempertemukanku dengannya kembali. Aku mencomot buku asal dari raknya, dan hey! Dari ratusan novel yang berjajar rapi di toko buku ini, aku justru mengambil novel dengan nama tokoh yang sama dengannya “Alfian”. Pertanda apa lagi ini? Apa ini pertanda kalau dia memang jodohku?

“Heh, dilarang senyum-senyum sendiri!” Mei mengagetkanku sekaligus membuyarkan lamunanku tentang kejadian tadi pagi yang kuputar ulang. Aku tersipu, tidak menanggapi tegurannya. “Kamu kenapa sih, Di? Makin hari makin aneh.”

“Aneh gimana? Biasa aja…” aku menghindar, benarkah aku aneh belakangan ini? Aku hanya tahu, dia sering hadir di mimpiku. Berkali-kali kami juga dipertemukan. Lantas aku semakin hanyut dalam prediksi ‘mungkin saja kami memang berjodoh kan?’ dengan segala pertanda yang aku kait-kaitkan; sekecil apapun kemungkinan itu.

“Ya aneh! Suka senyum-senyum sendiri, bengong aja kerjaannya, trusss…. Eits! Ngapain kamu buka account facebook Alfian?” Mei mendekatkan wajahnya ke layar netbookku. OMG! Aku lupa menutupnya tadi.

“Eh, gak ngapa-ngapain… cuma iseng aja…” aku tahu, wajahku pasti memerah saat mengucapkan kalimat pengelakan ini. Buktinya Mei malah semakin menatapku dengan tatapan menyelidik.

“Apa ada sesuatu yang aku gak tahu?”
Aku menggeleng keras. Tak mau Mei mengetahui isi hatiku.
Ia mengangguk persis burung kakak tua (yang ini benar-benat membual, aku belum melihat sosok hewan ini, tapi hanya itu yang ada di kepalaku sekarang).
“I see… pasti kamu udah denger kabar itu ya? Penasaran yah?”
Mataku menyipit tak mengerti.
“Iya, aku juga kaget waktu denger kabar itu. Kok bisa yah cowok seumuran dia berani gitu?”
Aku semakin tak mengerti arah pembicaraan Mei.
“Tapi istrinya emang cantik sih, anggun banget….”
Glekk. Aku menelan ludah. Pahit. Sepahit kenyataan yang baru saja kuhadapi.

“Akad nikahnya udah tiga bulan yang lalu, resepsinya baru diadain bulan depan. Emang gak banyak yang tahu sih tentang kabar pernikahannya itu, aku tahu juga dari si Nino, sepupuku yang ternyata sohib deketnya.”

Kepalaku tiba-tiba pening. Mimpi? Mata elang? Pertanda? Jodoh?!
“Pandangan adalah panah-panah syetan, sedang syetan itu tak menginginkan apapun dari manusia selain keburukan dan kebinasaan. Maka penjagaan kita terhadap pandangan mata menjadi satu kunci pokok menuju keselamatan.” Petuah Kak Melisa, seniorku yang dua pekan lalu mengisi acara keputrian di kampusku terngiang-ngiang.

Ah! Terang saja dia hadir di mimpi-mimpiku, bukankah sebelumnya kami pernah berpapasan dan aku terus terpesona dengan mata elangnya hingga setiap malam syetan membawakan sorot mata itu agar aku semakin terperosok akibat kelalaianku menjaga pandangan?

“Di, Diani? Kamu gak papa kan?”
Mimpi? Mata elang? Pertanda? Jodoh?!

“MEI…….HUAAAAAA…..” air mataku membanjir. Mei kalang kabut, bingung dengan apa yang terjadi padaku.
by Desti Adzkia
diBawahLangit, 16 Agustus 2011