Kamis, 28 April 2011

Izzuddin Al Qossam, Pejuang yang Merakyat

Dilahirkan di negeri Jabalah, Suriah pada tahun 1882 M/ 1300 H dengan nama lengkap Muhammad Izzuddin bin Abdul Qodir Mushthofa Al Qosam. Ia tumbuh dan berkembang ditengah keluarga yang taat dan berpegang teguh dengan ajaran Islam. Ayahnya yang menekuni ajaran tasawuf dikenal sebagai pendidik yang khusus menyediakan salah satu pojok rumahnya sebagai tempat belajar agama bagi anak-anak tetangga sekitarnya.


Tanpa disadari, lingkungan belajar ini membantu membentuk kepribadian sang Izzuddin kecil karena ia menyaksikan langsung proses tarbiyah yang dilakukan ayahnya terhadap murid-muridnya yang datang ke rumah. Keakraban hidup dengan orang kecil yang diwarisi dari orang tuanya terus dipupuk sampai hari tuanya. Ia tidak segan-segan membantu orang kecil walau sekedar berbincang-bincang untuk meringankan beban hidup orang lain. Begitulah prinsip yang dipegangnya.

Ketika berumur 14 tahun (tahun 1896), pemuda Izzuddin dikirim orangtuanya belajar ke Jami’ Al Azhar, Mesir yang kala itu masih berbentuk talaqi’dengan masyayikhdi dalam mesjid. Sekitar 10 tahun berada di bumi kinanah, Izzuddin banyak tertarik dengan ide-ide pembaharuan yang dilontarkan oleh Jamaluddin Al Afghani, Muhammad ‘Abduh dan Abdurrahman Al Kawakibi. Himbauan mereka antara lain: agar kembali berpegang teguh dengan Al Qur’an dan Sunah, kritikan terhadap kezoliman politik penguasa, kesenjangan sosial, keterbelakangan ilmu pengetahuan, kemerosotan akhlak serta cengkraman barat terhadap kaum muslimin.

Ia juga tertarik dan bergabung dengan madrasah jihad yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridho. Di madrasah ini Izzuddin dan rekan-rekannya memantau dan menjalin hubungan dengan pergerakan jihad yang ada di negara Islam lainnya. Demikianlah proses tarbiyah yang dijalani pemuda Izzuddin selama di Mesir yang memberikan pengaruh bagi perjuangannya selanjutnya.

Andilnya dalam da’wah
Aktivitasnya selama di Mesir menempanya menjadi sosok yang tidak bisa berpangku tangan menyaksikan kerusakan di tengah-tengah masyarakat. Kepekaan terhadap lingkungan yang memang sudah mendarah daging dalam dirinya semakin tajam dengan tempaan yang cukup lama di Kairo, Mesir. Pada usia 24 tahun, Izzuddin kembali ke kampung halamannya di Jabalah, Suriah.

Setibanya di kampung halaman, ia langsung terjun ke medan da’wah. Ia sangat lihai berpidato. Kelihaiannya itu ia manfaatkan untuk menda’wahkan Islam kepada orang banyak. Sampai akhirnya menjadi khatib tetap di Masjid Raya Al-Manshur, Jabalah.

Keindahan gaya bahasa yang digunakannya sangat menyentuh hati para hadirin.i>Muhadharahnya disenangi dan ditunggu-tunggu oleh kaum muslimin. Kepiawaiannya memilih kata-kata bisa membangkitkan kesadaran hadirin untuk kembali berpegang teguh dengan ajaran agama Islam.

Ia selalu menekankan sifat tawadhu’, akhlak mulia, kecerdasan berinteraksi,istiqomah, pengendalian diri, meluaskan cara pandang, zuhud, sederhana, ikhlas serta siap berkorban tenaga,waktu dan istirahat demi Islam dalam setiap muhadharah yang disampaikannya. Hal-hal yang dida’wahkannya ini senantiasa diusahakannya agar bisa diterapkan dalam kesehariannya sehingga ia benar-benar menjadiqudwahdan dicintai masyarakatnya.

Satu hal yang tak pernah lepas dari kehidupannya adalah kepeduliannya terhadap orang miskin. Para petani diziarahinya sampai ke ladang-ladang tempat mereka bekerja. Para buruh tak lupa disapa dan diajaknya berbincang walaupun hanya sebentar. Ia tak segan-segan menemani mereka di meja makan atau membantu menyelesaikan pekerjaan mereka sekalipun hanya sesaat.

Menjalin ukhuwah dan gemar bermu’ayasah(berinteraksi di tengah-tengah masyarakat) benar-benar dihayati dan diterapkan dalam kehidupannya. Karena melalui jalan inilah seorang da’i mengerti dan memahami kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Inilah salah satu kunci keberhasilan Syaikh Izzuddin dalam da’wahnya mengenalkan Islam kepada masyarakat di sekitarnya yang patut diteladani.

Kesertaannya dalam jihad
Tarbiyah madrasah jihad Rasyid Ridho sewaktu di Mesir sangat berbekas dan mempengaruhi watak dan kepribadian Izzuddin dalam berjuang. Hal ini dibuktikannya ketika tentara Italia datang dan menjajah Lybia tahun 1911. Ia yang berada di Suriah tergugah untuk membantu muslimin disana.

Dengan gagah berani ia pimpin demonstrasi menentang Italia di Jabalah, Suriah. Ia menyerukan kaum muslimin agar membantu saudaranya di Lybia dengan harta maupun jiwa untuk berjihad ke sana. Dari himbauannya tersebut, terdaftarlah sekitar 250 mujahidin sedangkan yang lainnya ikut andil dengan sumbangan harta yang ada.

Berangkatlah pasukan mujahidin yang dipimpin langsung oleh Izzuddin menuju Mina’, Al Iskandrunah dan bermalam disana selama 40 hari menunggu kapal yang akan membawa mereka ke Lybia. Namun sayang, kaum nasionalis yang berkuasa berpihak kepada kepentingan Italia. Mereka menghalangi keberangkatan pasukan mujahidin bahkan memulangkannya ke Jabalah. Adapun dana yang terkumpulkan sebelumnya untuk membiayai keberangkatan ke Lybia digunakan untuk mendirikan madrasah di Jabalah guna membantu meningkatkan keilmuan masyarakat setempat.

Ketika penjajah Perancis mulai memasuki Suria pada tahun 1918 dan menduduki perkampungan nelayan, Izzudin yang berada di Jabalah tentu saja tidak tinggal diam. Ia menyerukan revolusi melawan Perancis dan mengajak masyarakat agar bergabung. Bahkan untuk mendanai perang jihad yang dikobarkannya, ia rela menjual rumah dan uang hasil penjualannya dibelikan senjata.

Kegigihannya melawan penjajah membuat Perancis gerah dengan sepak terjangnya. Ia dimasukkan dalam daftar orang yang di hukum mati karena menentang pemerintahan Perancis. Ketika cengkraman Perancis dirasakan semakin kuat, sebagian besar mujahidin keluar Suria menggalang kekuatan. Izzuddin bersama beberapa orang keluarga dan sahabatnya menyingkir ke Beirut, Libanon.

Dari sini mereka melanjutkan perjalanan ke Haifa, Palestina di penghujung tahun 1920. Jiwa da’wah yang tertanam sangat kuat dalam jiwanya membuat Izzuddin cepat dikenal dan disenangi masyarakat Islam Haifa. Bahkan ia diangkat menjadi khatib resmi mesjid Al Istiqlal Haifa.

Selanjutnya ia terpilih untuk pemimpin Pergerakan Pemuda Muslim Haifa. Ia berhasil membuka beberapa cabang dan langsung memantau perkembangan dan senantiasa memberikan tausiahserta pengarahan-pengarahan. Kebiasaan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat sekeliling di kampungnya diterapkan juga di Haifa.

Ia sangat menyadari bahwa keberhasilan da’wah sangat didukung oleh diterimanya da’i di tengah-tengah masyarakat.

Selama 15 tahun bermu’ayasahdengan masyarakat muslim Haifa, Izzuddin mempersiapkan muslimin untuk mengobarkan revolusi melawan penjajahan Inggris yang telah bercokol sekian lama di bumi Palestina. Ia meletakkan 3 sasaran yang akan di perjuangkan di Palestina:

1. Membebaskan Palestina dari penjajahan Inggris yang dicap sebagai musuh no. 1 umat Islam disebabkan janjinya kepada orang Yahudi untuk mendirikan Israel Raya di bumi Palestina dan memberikan izin masuknya puluhan ribu orang Yahudi ke Palestina.
2. Menghalangi cita-citaYahudi untuk mendirikan negara Israel di Palestina.
3. Mendirikan negara Islam Palestina untuk merapatkan dan menyatukan barisan Arab dan Muslimin.

Syiar yang dikumandangkan bersama mujahidin Haifa, Palestina adalah: “Ini adalah jihad, menang atau mati syahid”. Izzudin melancarkan pergerakan bawah tanah dan rahasia yang tak terendus oleh musuh dan hanya diketahui sahabat dan para mujahid yang membantunya. Namun akhirnya, aktifitas pergerakannya tercium juga oleh penjajahan Inggris dan Yahudi.

Sebelum musuh mengambil tindakan, ia mengambil ancang-ancang menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dengan melatih para petani dan masyarakat untuk memegang senjata di dataran tinggi Junein. Namun sebelum revolusi sempat dikobarkan, Inggris dan Yahudi lebih dulu membuat makar dengan memperalat tentara Arab, Palestina. Ketika matahari baru membagi sinarnya ke bumi, pagi hari tepatnya tanggal 20 September 1935, ia dan para mujahid lainnya berhadapan langsung dengan musuh yang menyerang dari 3 penjuru sekaligus.

Sebenarnya, Izzuddin bersama para sahabatnya bisa saja meloloskan diri, namun pantang baginya melarikan diri dari medan pertempuran. Pada waktu itu pasukan mujahidin berada pada tempat yang tidak menguntungkan untuk mengadakan perlawanan. Saat itu pasukan mujahidin berada di dataran rendah sedangkan musuh berada di balik perbukitan.

Inggris yang licik berhasil memperalat badan keamanan Arab Palestina untuk melancarkan aksinya membungkam perlawanan Izzuddin dengan meletakkan mereka di 3 barisan pertama. Siasat licik ini dijalankan setelah sebelumnya Inggris menuduh Izzuddin dan lainnya adalah perampok yang selalu membajak pedagang yang sering melewati kawasan tersebut.

Sebelum perlawanan dimulai, Izzudin mengumumkan agar jangan melukai pasukan Arab karena mereka tidaklah tahu apa-apa. Lalu ia mengumandangkan syiar:”Hadzaa jihadun fi sabilillah wal wathon,wa man kaana hadza jihaduhu la yastaslim lighoirillah”dan menyerukan:”muutuu syuhada’….!”

Setelah melakukan perlawanan keras, akhirnya Izzuddin dan 4 orang sahabatnya menemui syahid. Mendung menyelimuti Haifa mengiringi kepergian sang mujahid sejati yang dikenal sangat peduli dengan rakyat kecil. Jasadnya dimakamkan di kampung “Syaikh”dekat Haifa.

Satu peninggalannya adalah buku yang berjudul:”An Naqdu wal Bayan”yang dikarangnya bersama syaikh Kamil Al Qosab untuk memerangi khurafat dan bid’ah yang banyak berkembang ditengah-tengah kaum muslimin. Keteladanan yang bisa ditiru dari perjuangan beliau adalah keikhlasan, pengorbanan dan senantiasa menebarkan kehangatan berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya. Sifat-sifat ini sangat membantu kesuksesan dalam medan da’wah, jalan yang ditempuh oleh para Nabi utusan Allah. Selamat berjuang !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar